Sabtu, 30 April 2022

RUNTUHNYA SINGHASARI 

Bagian Pertama

Nusantara adalah sebutan bagi kepulauan di Asia Tenggara yang mana terdiri atas jajaran pulau-pulau besar dan kecil. Nusantara berasal dari bahasa sansekerta yaitu 'Nusa dan Antara'. Kata Nusa sendiri merujuk pada arti Pulau. Sedangkan kata Antara memiliki arti 'diantara atau antara'.

Oleh karena itulah, maka Nusantara dapat diartikan sebagai, 'Diantara Pulau-Pulau'. Cerita ini akan bermula dari suatu masa kerajaan bernama Singhasari dengan raja terakhirnya yang bernama Kertanegara. Kerajaan ini sendiri berada di wilayah Jawa Timur, tepatnya di wilayah Kediri.

Kerajaan dengan corak Hindu-Buddha ini menganut ajaran Tantra-Bhairawa yang sangat populer di masa itu. Raja Kertanegara sendiri merupakan penganut taat Tantra Bhairawa. Ketika sudah mencapai masa kejayaannya, Singhasari pun sempat mengirim bala tentara dalam ekspedisi Pamalayu. Hal ini dilakukan guna mencari daerah baru untuk ditaklukkan. 

Ketika bala tentara Singhasari berangkat menuju pulau Sumatra, Bali, dan juga Kalimantan untuk melakukan ekspedisi. Tinggalah hanya beberapa ratus pasukan yang berjaga-jaga di Ibu kota Singhasari.

Demikian percayanya Kertanegara pada keamanan kerajaannya. Tentu saja dalam hal ini Kertanegara punya sedikit keinginan yang tidak diketahui oleh siapa pun. Bahkan oleh istri dan anaknya.

Ketika fajar mulai terbenam, Kertanegara mengumpulkan seluruh penghuni istana. Segala penasehat, patih, adipati juga para selir. 

Lalu kemudian, Kertanegara membuat pengumuman: 

"Malam ini, aku akan melaksanakan ritual Puja Tertinggi"

"Ku perintahkan, kalian semua untuk bersiap dan bergembiralah!!!"

"HAHAHAHAHAHA"

Tawa Kertanegara memecah keheningan. Segera setelah itu, semua orang bersiap agar menyenangkan apa keinginan Kertanegara.

Namun teryata, ada salah satu adipati yang kemudian pergi meninggalkan istana guna menyampaikan berita itu kepada seseorang.

Dalam sekejap saja, adipati itu sudah menghilang dari pandangan. Dengan kuda perangnya, pergi keluar dari ibu kota Singhasari.

Nampaknya, adipati itu terburu-buru....

Rabu, 26 September 2018

Pesona ALam Gunung Lawu

Hidden Paradise Gunung Lawu

Sekilas, yang ada di benak setiap orang tentang Gunung Lawu pastilah tentang sisi mistis yang menyelimutinya. Namun tahukah kalian jika teryata ada banyak surga tersembunyi dibalik lebatnya hutan hujan tropis Gunung Lawu.

Belum lama ini, saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk menjelajah sudut-sudut pedesaan di sekitaran Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu.
Kami mengunjungi sebuah tlaga yang masih asri dan berada di tengah-tengah pedesaan. Suasana yang sudah sangat susah ditemui di era milenial ini.

Nah, kali ini saya akan berbagai sedikit foto tentang keberadaan tlaga itu yang mungkin saja akan menginspirasi kalian yang sedang mencari tempat untuk bercengkrama bersama teman dan keluarga atau dengan pasangan kalian hehehehe...

Tlaga Madirda




Nama tlaga tersebut adalah tlaga Madirda. Tlaga tersebut dapat dijangkau dengan melewati dua jalur. Yang pertama adalah jalur melalui daerah wisata Air Terjun Jumog, sedangkan yang kedua dengan melewati Candi Sukuh.

Pokoknya gak akan menyesal jika melewati jalur manapun, karena kalian akan disuguhkan pemandangan khas pedesaan dengan beragam keindahan alam dan kesederhanaan masyarakatnya.
Saya sendiri sudah bolak-balik di sekitaran Gunung Lawu sejak 2012 dan memang sudah seperti rumah kedua saya sendiri. Setiap saya merasa jenuh dengan hingar-bingar perkotaan maka tempat yang pasti akan saya kunjungi jika bukan Gunung Lawu pastilah Dieng (next saya akan update kisah tentang negri di atas awan tersebut).

Tlaga madirda ini juga memiliki sebuah pancuran air yang sengaja dibuat oleh warga sekitar untuk keperluan pengambilan air warga maupun sebagai sarana peribadatan masyarakat Hindu.
Oh ya di tlaga ini juga warga menebar benih ikan loh, dan ada juga warga yang mencari lumut untuk dijual sebagai salah satu kebutuhan aquascaping aquarium.

Nah....jika penasaran silahkan mengunjungi sendiri ya lokasi tlaga madirda ini, dan saya tidak akan memberikan clue lain selain yang sudah saya sebutkan.... mengapa? karena jika kalian memang petualang sejati, pasti tidak akan kehilangan akal untuk sampai ke tempat ini bukan?
jaman sudah canggih loh, bisa menggunakan gps, atau jika ingin lebih mengasyikan lagi kalian juga bisa bertanya dengan masyarakat sekitar...
*sengaja saya berikan sedikit foto, info dan cerita, karena biar kalian juga merasakan petualangan yang saya rasakan hehehe*

salah satu sudut Tlaga Madirda

Akhir kata, perjalanan saya dan teman-teman sangat berharga sekali karena melalui banyak petualangan, dan saya harap kalian juga mempunyai petualangan kalian sendiri. 
Nah oleh karena itu, singkat cerita saya ini semoga mampu "mengajak" kalian-kalian menyempatkan diri menepi dari hingar-bingar duniawi dan mulailah berpetualang. Tak perlu takut untuk memulainya...

Karena akan ada cerita yang menunggumu di setiap pemberhentian, di setiap perjalanan yang kalian lalui...

Bagaimana menarik bukan?
silahkan jika ingin mengunjunginya....tapi tetap jaga norma-norma yang berlaku yaaaa!!!
baik itu tidak membuang sampah sembarangan, berbuat asusila, maupun tindakan-tindakan merugikan lainnya.
yup, saya rasa sekian cerita saya...dan next petualangan akan saya update tapi tidak tahu kapan soalnya menyesuaikan waktu saya hehehehe
sampai jumpa lagi :)
keep clean our environment for better future!
stay positive and keep sharing something usefull
*buat yg mau kepo ig saya juga bole kok silahkan di langsung saja menuju lokasinya.



Jumat, 12 Januari 2018

Konsep Religi Nusantara dalam Kajian Etnoarkeologi

Konsep Religi Nusantara dalam Kajian Etnoarkeologi
KusumaWardhana



Keragaman suku bangsa yang tersebar di Nusantara merupakan kondisi objektif yang penting dan sangat berpengaruh dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia. Perbedaan suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan bahasa, adat istiadat, dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga perbedaan orientasi nilai yang menyangkut sistem keyakinan dan keragaman masyarakat.

Setiap suku bangsa, selain memiliki kepercayaan lokal masing-masing, juga memiliki sistem pengetahuan dan cara pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masuknya unsur baru dalam kehidupan tentu saja mendapat reaksi yang berbeda-beda. Adanya hukum adat yang terbentuk dari tradisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan bentuk paling jelas dari institusi lokal yang mengatur tatanan masyarakat. Berdasarkan pengelompokan yang diperkenalkan oleh pelopor studi hukum adat, Van Vollenhoven, terdapat Sembilan belas wilayah hukum adat yang mengisyaratkan agama Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki ciri adat tertentu. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang tinggi telah ada sebelum Islam menjadi perdebatan diberbagai daerah. Daerah yang keterkaitannya dengan adat begitu tinggi dan paling intens menerima proses islamisasi antara lain Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Terutama menyangkut persoalan untuk mempertemukan atau menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan dan tradisi lokal dalam masyarakat yang masih terdapat sisa-sisa tradisi megalithikum (adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar, seperti menhir adalah tugu yang melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan. Dolmen adalah bentuknya seperti meja batu berkakikan tiang satu dan merupakan tempat sesaji). Pada dasarnya tertumpu pada keyakinan tentang adanya aturan tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam dunia. Tradisi kepercayaan dan sistem sosial budaya adalah produk masyarakat lokal dalam menciptakan keteraturan. Seperti tradisi lokal itu adalah melakukan upacara adat, menghadirkan tata cara menanam dan memanen, melakukan selamatan serta melakukan upacara peralihan hidup.

Contoh lain tradisi lokal:
 Di Tapanuli, kepercayaan lokal dikenal dengan nama parmalim atau agama si Raja Batak. Di Kepulauwan Mentawai disebut Sabulungan, di Dayak disebut Kaharingan, di Toraja disebut Aluk to dolo. Di Sulawesi Tengah di sebut Parandangan, di Sumbawa disebut Baramarapu, di Nias disebut Ono niha. Di Sika (Maumere) disebut Ratu bita bantara. Kepercayaan lokal tersebut memang berbeda di setiap daerah, hal itu menunjukkan keragaman budaya yang ada di Indonesia.

Kemudian tadi dijelaskan mengenai kebudayaan megalithikum yang belum disebutkan adalah ada juga arca-arca (ini mungkin melambangkan nenek moyang mereka dan menjadi pemujaan), kubur batu (peti mayat dari batu yang keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, alas dan bidang atasnya juga dari papan batu). Punden berundap-undap (yaitu bangunan pemujaan yang tersusun berttingkat-tingkat). Pada umumnya kebudayaan megalithikum ini terdapat di seluruh Indonesia seperti di Sumatera, Bali, Jawa, dan Sulawesi. Di samping itu masyarakat Jawa telah mengenal cerita wayang dan ini adalah merupakan asli budaya Jawa.

Indonesia sejak zaman neolithikum atau zaman batu muda di mana alat yang dibuat sudah diasah sehingga menjadi halus dan indah. Dikatakan bahwa sejak zaman Neolithikum bangsa Indonesia telah mengenal:

1.Cara pertanian padi

2.Mengenal alat pemotong padi

3.Teknik pembuatan batik

4.Peternakan

5.Teknik pembuatan periuk belanga

6.Membuat alat-alat dari logam

7.Pembuatan rumah panggung

8.Mendirikan monument (bangunan pemujaan)

9.Sudah mengenal organisasi pemerintahan secara teratur yang dikepalai Kepala Desa dan menurut Adat

10.Membuat/menggunakan mata uang.

Perpaduan Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha
Telah diketahui bahwa sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan asli masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya Hindu-Budha membawa perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Unsur kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa menghilangkan sifat kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.

Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha tersebut, antara lai sebagai berikut:
·         Sistem Kepercayaan. Sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang dan juga kepercayaan terhadap benda-benda tertentu. Kepercayaan itu disebut animism dan dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia, terjadilah akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara keagamaan atau pemujaan terhadap para dewa di candi, terlihat pula adanya unsur pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dalam bangunan candi terdapat pripih yang di dalamnya terdapat benda-benda lambang jasmaniah raja yang membangun candi. Sehingga candi berfungsi sebagai makam. Di atas pripih terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan raja dan pada puncak candi terdapat lambang para dewa (biasanya berupa gambar teratai pada batu persegi empat). Jadi, upacara keagamaan atau pemujaan terhadap dewa yang ada pada candi tersebut pada hakekatnya juga merupakan pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan di situlah letak akulturasinya. Dengan nama yang lain tetapi esensinya adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang.
·         Filsafat (maknanya secara sederhana alam pikiran, berpikir secara mendalam). Wujud akulturasi Indonesia dan Hindu—Budha di bidang filsafat dapat ditemukan dalam cerita wayang. Isi cerita tersebut mengandung nilai filosofis, yaitu bahwa kebenaran dan kejujuran akan berakhir dengan kebahagiaan dan kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan kecurangan akan berakhir dengan kehancuran.
·         Seni wayang yang sudah popular dalam kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat Jawa) bersumber dari cerita Ramayana dan mahabrata yang berasal dari India. Namun, penampilan wujud tokoh dalam wayang tersebut adalah budaya Indonesia yang antara daerah satu dan lainnya berbeda. Baik dalam agama Hindu maupun Budha, keduanya mempercayai adanya hukum karma dan reinkarnasi. Kedua hukum tersebut mengandung makna filosofis, yaitu bahwa manusia harus berbuat kebaikan, kebenaran, dan kejujuran agar lepas dari samsara atau penderitaan. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu telah berkembang suatu konsep berupa petuah-petuah, nasehat atau pesan yang mengandung makna filosofis tentang kebenaran, kejujuran dan kebaikan.
·         Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha, pemerintahan di Indonesia berlangsung secara demokratis, yaitu untuk menentukan seorang pemimpin (kepala suku) dilakukan melalui pemilihan. Setelah masuknya budaya Hindu-Budha dikenal sistem pemerintahan kerajaan yang tidak lagi dipilih secara demokratis, tetapi secara turun temurun. Namun, dalam perkembangannya sifat pemerintahan demokratis tetap menampakkan kembali ciri khasnya. Pemerintah kerajaan tetap menerapkan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kekuasaan raja tidak bersifat mutlak seperti di India. Dalam pergantian raja tidak selalu dilakukan secara turun-temurun. Unsur musyawarah sangat menentukan, terutama bila raja tidak mempunyai putra mahkota.
·         Seni Bangunan. Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia membawa pengaruh terhadap seni bangunan, terutama bangunan candi. Jika dilihat dari bentuknya, bangunan candi selalu bertingkat-tingkat yang terdiri atas kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi. Pada candi Hindu ditemukan pripih yang berisikan lambang jasmaniah raja (yang membuat candi), kemudian di atasnya terdapat patung dewa dan pada puncaknya terdapat lambang para dewa. Dengan demikian, jika dilihat dari bentuk bangunannya candi akan mengingatkan kita pada bangunan punden berundak. Oleh karena itu, pada candi ditemukan unsur Indonesia dan unsur Hindu-Budha.
·         Fungsi candi di India adalah sebagai tempat untuk memuja dewa. Di Indonesia, candi berfungsi sebagai makam dan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Hal itu dapat dilihat dengan lambang jasmaniah raja di dalam pripih, sedangkan arca di atasnya adalah perwujudan raja yang telah meninggal tersebut.
·         Seni Rupa. Masuknya kebudayan Hindu-Budha berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di Indonseia. Contoh, seni hias yang berupa relief pada dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya akulturasi antara budaya Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi biasanya merupakan suatu cerita yang berhubungan dengan agama.
·         Relief pada dinding Candi Borobudur seharusnya adalah cerita tentang riwayat Sang Budha Gautama. Namun, yang digambarkan adalah suasana kehidupan masyarakat Indonesia karena ditemukannya hiasan gambar perahu bercadik, rumah panggung, dan burung merpati. Pada Candi Jago di Jawa Timur dijumpai tokoh Punakawan, yaitu orang yang menjadi pengawal seorang ksatria. Cerita itu hanya ditemukan di Indonesia.
·         Seni Sastra. Pengaruh seni sastra India juga turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta besar pengaruhnya terhadab sastra Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti Kutai, Tarumanegara, dan prasasti di Jawa tengah pada umumnya ditulis dalam bahasa sansekerta dan huruf pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa sansekerta cukup dominan, terutama dalam istilah pemerintahan. Seperti kata-kata patih lebet (sebuah jabatan yang mengkordinasi pemerintahan dalam istana). Pada masa Sultan Agung Titayasa di Banten, patih lebet dijabat oleh Adipati Mandaraka.
·         Sistem Kalender. Sistem penanggalan (kalender) Hindu-Budha turut berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya kalender Saka di Indonesia, juga ditemukan candrasangkala dalam usaha memperingati suatu peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Tahun Saka dimulai tahun 78 M. Kalender Saka merupakan kalender dari India yang digunakan di Indonesia. Penggunaan kalender Saka ditemukan dalam prasasti Talang Tuo (adalah prasasti yang menjelaskan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra) yang berangka tahun 606 Saka (686 M). Prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa dan bahasa melayu kuno. Dua contoh prasasti tersebut merupakan wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
·         Candrasangkala adalah angka huruf yang berupa susunan kalimat atau gambar. Setiap kata dalam kalimat tersebut dapat diartikan dengan angka, kemudian dibaca dari belakang maka akan terbaca tahun Saka. Beberapa gambar harus dapat diartikan ke dalam kalimat.
Contoh tahun candrasangkala adalah sirna ilang kertaning bumi yang artinya:
Sirna : berarti angka 0
Ilang : berarti angka 0
Kertaning : berarti 4
Bumi : berarti 1
Jadi, sirna ilang kertaning bumi dalam tahun Saka adalah 1400 dan sama dengan tahun 1478 M.

Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia

Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
·         Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil kebudayaan zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur budaya sebelumnya, seperti berikut ini;
Fisik Bangunan. Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.

Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.

Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam dalam candi.
·         Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya. Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga, dan lima.

Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).

Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak bangunanmasjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
·         Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid.
·         Aksara. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul.
·         Seni Sastra. Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Pengaruh yang kuat dalam karya sastra pada zaman Islam berasal dari Persia. Misalnya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dn Cerita 1001 Malam. Di samping itu, pengaruh budaya Hindu-Budha juga terlihat dalam karya sastra Indonesia. Misalnya, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda Semirang, dan Syair Panji Semirang.

Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas soal keagamaan).
·         Sistem Pemerintahan. Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di Indonesia telah berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan perubahan struktur pemerintahan dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan julukan sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab).
Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu, juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan menambah angka urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya.

Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat.

Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Tata cara pengangkatan raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu pada ketika meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja), kemudian disertai ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.

·         Sistem Kalender. Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran, seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon.
·         Filsafat. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab masalah-masalah yang tidak terjawab oleh disiplin ilmu yang lain. Filsafat akan mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam mencari kebenaran, umat Islam menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena terdorong oleh cinta dan rindu terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan masyarakat ramai dan kemewahan dunia serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Para pencari Tuhan itu mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya dinamakan tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul tarekat di Indonesia, seperti tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara yang ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bentuk akulturasi ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
·         Aliran Kebatinan
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari kalangan sufi. Seperti ajaran manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Ajaran Syeikh Siti Jenar banyak dipengaruhi oleh unsur budaya pra-Islam. Akibatnya, ia dihukum oleh para wali, karena dianggap menyesatkan.
·         Filsafat Jawa
Filsafat Jawa sangat erat sekali hubungannya dengan dunia pewayangan. Oleh karena itu, dalam penyebaran Islam di pulau Jawa para walimenggunakan wayang sebagai medianya. Tokoh yang terkenal adalah Sunan Kalijaga.

Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu-Budha dengan Kerajaan yang bercorak Islam.

Dalam ajaran Hinduisme dan Budhisme terdapat suatu pandangan yang dikenal sebagai kosmogoni (asal-usul alam semesta). Dalam konsepsi tersebut manusia mengaggap bahwa antara dunia manusia dan jagat raya terdapat kesejajaran. Pandangan tersebut memengaruhi alam pikiran manusia sehingga melahirkan konsepsi tentang hubungan antara manusia dan jagat raya. Selanjutnya, hal Itu dihubungkan dengan kegiatan politik dan kekuasaan yang berwujud dalam susunan pemerintahan. Hal itu terjadi juga pada kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menganggap raja dan kerajaannya (mikro kosmos) merupakan gambaran nyata dari jagat raya (makro kosmos).
Menurut pandangan masyarakat pada zaman Hindu-Budha, raja dianggap sebagai orang tokoh yang diidentikkan dengan dewa. Kekuasaan raja dianggap tidak terbatas. Ia tidak dapat diatur dengan cara duniawi karena dalam dirinya terdapat kekuatan yang mencerminkan roh dewa yang mengendalikan kehendak pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para dewa, baik dalam aspek material maupun aspek spiritualnya. Raja dan para pegawainya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sepadan dengan yang dimiliki oleh para dewa. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan raja tidak boleh dibantah oleh siapa pun.

Dalam konsep kekuasaan kerajaan yang bercorak Islam, mengkultuskan raja tidak berlaku karena dalam ajaran agama Islam kedudukan antara manusia dengan Tuhan sangat berbeda. Tuhan berada di atas segala-galanya. Ajaran Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung pada zaman Hindu-Budha, tetapi sebagai khalifatullah, yaitu sebagai wakil penguasa di dunia dan akan dimintai pertanggungjawabannya nanti. Manusia yang akan diangkat sebagai khalifatullah akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, seorang raja harus memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi itu oleh orang Jawa disebut wahyu atau cahaya nubuwat atau pulung. Seseorang yang mendapat wahyu dari Tuhan berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan menjadi penguasa tanah Jawa. Selain itu, seorang raja harus memiliki perlambang yang mempunyai kekuatan magis.

Dalam kitab Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit sebelum diserahkan kepada Raden Patah harus terlebih dahulu diduduki (dilungguhi) oleh Sunan Giri selama empat puluh hari sebagai syarat untuk menolak bala. Perlambang lainnya yang menunjukkan kekuatan magis adalah alat gamelan berupa gong. Di Kerajaan Banjar, tanda yang berkekuatan magis berupa payung, keris, umbul-umbul, mahkota dan gamelan. Di Ternate, benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis, antara lain mahkota kereta keranjang, paying, bendera, keris dan pedang.

Penghapusan konsep dewa raja pada zaman islam tidak mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja yang menyeluruh dan mutlak atas seluruh rakyat. Sultan sebagai seorang raja yang berkuasa atas rakyatnya dianggap dapat menghubungkan mereka dengan alam gaib. Hal itu dapat dilihat dalam tradisi pemberian gelar pangeran (susuhunan, panembahan) kepada seorang sultan atau raja. Karena raja menduduki posisi sentral, seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja. Kekuatan apapun yang mungkin dimiliki oleh para pejabat diyakini diperoleh dari raja.

Jadi, baik dalam kerajaan-kerajaan Hindu-Budha maupun Islam, konsepsi magis-religius memainkan peran yang menentukan, tidak hanya dalam melegitimasi kekuasaan raja, tetai juga dalam menjelaskan peranan orang yang memerintah dan yang diperintah serta hubungan antara raja dan rakyatnya.

Rangkuman:
·         Perpadun antara tradisi lokal dengan kebudayaan Hindu-Budha terlihat pada sistem kepercayaan, filsafat, pemerintahan, seni bangunan, seni rupa, seni sastra, dan sistem kalender.
·         Perpaduan antara tradisi lokal, Hindu-Budha, dan Islam terlihat pada seni bangunan seperti makam dan masjid, seni rupa, aksara, seni sastra, sistem pemerintahan, sistem kalender, dan filsafat seperti aliran kebatinan serta filsafat jawa.
·         Dalam hal kekuasaan raja, ajaran Hindu-Budha sangat mengagungkan kedudukan seorang raja, sedangkan ajaran islam tidak. Karena dalam ajaran agama Islam, semua manusia di mata Tuhan memiliki kedudukan yang sama atauyang membedakannya hanya karena taqwanya.
Daftar Rujukan:

1.Hamka. Sejarah Umat Islam. Pustaka Nasional, 1997.

2.Khan, Ong Hok. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Biorong. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002.

3.Sulistyo, Basuki. Mitos Bubuksah Kajian-Kajian Struktural dan Maknanya. Yogyakarta, Balai Arkeologi Depdiknas, 2000.

4.Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Rajawali Press, 2000.


Pasar Mataram Kuna

Pasar Mataram Kuna

Catatan Kecilku
Pendahuluan

            Kegiatan ekonomi merupakan sebuah bentuk dari cara manusia dalam mengatur kehidupan dengan sesamanya. Sejak jaman dahulu kala manusia sudah dituntut untuk bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kegiatan ekonomi pada awalnya hanya berdasarkan pada kebutuhan hidup semata, namun karena seiring berjalannya waktu maka kebutuhan itu pun bertambah banyak. Sebagai mahkluk sosial, maka interaksi pada sesame manusia sangat memungkinkan untuk terjadinya kegiatan ekonomi yang menyeluruh. Kegiatan ekonomi yang sudah berkembang ini pun membutuhkan sebuah tempat untuk bertemu baik antara penjual dan pembeli agar dapat terjadi transaksi. Berawal dari adanya keinginan untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi di tempat yang disepakati bersama maka muncullah istilah “ pasar “. Pasar merupakan tempat dimana setiap orang akan menemukan apapun yang mereka butuhkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Pasar juga merupakan tempat yang praktis untuk melakukan kegiatan barter atau jual-beli barang. Karena adanya kebutuhan manusia seperti itulah maka diperlukan sebuah tempat/wilayah jual-beli barang dan jasa yang disebut dengan pasar.
            Pasar merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan masyarakat Jawa kuna, yang sampai saat ini belum ada peneliti yang secara khusus meneliti pasar pada masa Jawa kuna. Karena pada umumnya pasar bukan saja tempat jual-beli barang dan jasa melainkan juga sebagai salah satu unsur penggerak roda perekonomian. Berdasarkan beberapa data prasasti ditemukan nama jabatan apakan, apkan, apêkan, mapakan, mapkan, atau mapkan,1) yaitu pejabat yang mengurusi pasar dalam artian “ mantri pasar “ (Boechari 1977 : 9). Penyebutan “ mantri pasar “ bisa dianggap seperti pegawai dinas social dan tenaga kerja. Berarti jika dalam prasasti saja ada penyebutan nama pejabat pasar, maka sudah pasti pada masa Jawa kuna pasar sudah memiliki struktur organisasi yang teratur.


Ilustrasi Pasar Tradisional

Rumusan Masalah

            Mengetahui lokasi pasar pada masa Mataram kuna berdasarkan prasasti Turyyān

Analisis dan Pembahasan

            Hadirnya pasar merupakan salah satu fenomena terpenting dalam sebuah peradaban di masa Jawa kuna. Pasar timbul karena adanya dorongan dari masyarakat yang pada umumnya tinggal di daerah padat penduduk sehingga memungkinkan muncullnya pasar lebih besar dibandingkan dengan daerah yang jauh dari pusat kerajaan. Ada 2 faktor utama yang mendasari lahirnya pasar berdasarkan pada faktor pendukungnya yaitu :
A.    Pasar yang timbul dengan sendirinya, biasanya terdapat ditempat-tempat strategis yang memenuhi syarat, diantaranya letak yang strategis untuk lalu lintas perdagangan, misalnya terdapat di tepi-tepi jalan besar antara 2 desa atau 2 kota, di persimpangan jalan, dan lain sebagainya.
B.     Pasar yang dibangun dengan sengaja, dan berhubungan dengan keinginan penguasa setempat. Pada umumnya di faktor ke 2 ini merupakan keadaan dimana seiring bersamaan dengan pindahnya pusat kekuasaan atau muncullnya sebuah kekuasaan baru, baik tingkat kerajaan maupun tingkat yang lebih rendah. (Sutjipto 1970 : 137-8).
Berdasarkan data prasasti Turyyān disebutkan letak sīma yang dianugrahkan raja kepada 2aη Atu berada di sebelah utara pasar. Kutipan yang memuat hal itu (De Casparis 1984 : 43) adalah sebagai berikut :
(6)…ya ta panānugraha ṡrīmahārāja. Mwaņ tgal kulwan iη lwaḥ lor niη pkan krama nikanaη lmaḥ kulwan iη lwaḥ ya panādaggana saη hyan ka (7) bhaktyan. mwaņ makabwatthajya ikeη saη hyaņ dawuhan tus niη lwah saṅkā ri air lubaη. ikanaη lmaḥ lor hiη pkan maknā kamulālana ika paṅguh (8) han su 3
Artinya :
Itulah anugrah ṡrī mahārāja, berupa tegal di sebelah barat sungai dan di sebelah utara pasar, kemudian di tanah sebelah barat sungai didirikan saη hyaη kabhaktyan, serta yang dijadikan kerja bakti membuat bendungan yang bersumber dari sungai yang berasal dari Air Lubaη. Tanah sebelah selatan pasar yang dijadikan kamulān itu dikenai pajak 3 suwarṇa.
            Jelas sudah bahwa dalam prasasti tersebut menjelaskan bagaimana letak pasar pada masa itu yang berdasarkan anugrah dari ṡrī mahārāja namun karena minimnya data prasasti maka pola pasar pada masa itu sangat sulit untuk diidentifikasi. Jika acuan telaah prasasti didasarkan pada pola pasar pada masa kini maka, dapat kita ibaratkan ada sebuah alun-alun besar dan luas atau dapat berupa lapangan terbuka. Karena kata pkan itu sendiri dimaksudkan merujuk pada lapangan. Jadi besar kemungkinan pkan adalah lapangan yang digunakan sebagai pasar berdasarkan hari-hari pasar tertentu, satu atau dua kali dalam seminggu.

Kesimpulan

            Temuan prasasti sangat jarang yang membahas tentang pasar pada masa Jawa kuna, karena lebih banyak ditemukan isi dari prasasti itu berupa pemberian ṡīma kepada masyarakat disuatu daerah tertentu. Perlu dilakukan telaah mendalam akan adanya bukti temuan prasasti yang memuat tentang pasar-pasar di masa Jawa kuna, karena peranan pasar sangat besar dalam menentukan besar-kecilnya sebuah kerajaan di masa itu. De Casparis juga belum dapat menentukan bagaimana pola dan bentukan dari pasar pada masa Jawa kuna karena data yang ada belum cukup kuat untuk menunjukkan bukti fisik dari pasar tersebut.

Daftar Pustaka

            Boechari, M.
1977a “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuno Ditinjau dari Segi Sejarah      dan Arkeologi”, dalam Majalah Arkeologi I (1):5-23. Jakarta.
1977b “Candi dan Lingkungannya”, dalam MISI VII (2):89-114.
            De Casparis. J.G.
1950 “Incription uit de Çailendra-tijd”, Prasasti Indonesia, Jilid I. Bandung: A.C. Nix & Co.
1956 “Selected Incription from the 7th to the 9th Century A.D.”, Prasasti Indonesia. Jilid II. Bandung: Masa Baru.
1986 “The Evolution of the Socio-Economic Status of the East Javanese Village and Its Inhabitans”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.) Agrarian History:3-24 Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


            

Wisata Kuliner Khas Kotagede, Yogyakarta

1.       Yangko

Makanan ringan berbahan kacang ini adalah makanan khas Kotagede. Selain enak, makanan ini juga bergizi karena mengandung vitamin yang berasal dari kacang-kacangan. Yangko juga sangat cocok di jadikan sebagai makanan yang disajikan untuk para tamu atau acara keluarga. Yangko juga tersedia dalam berbagai rasa, dari rasa nangka hingga rasa durian. Makanan ringan yang mempunyai tekstur kenyal ini berukuran kecil persegi. Setiap satunya dibungkus dengan kertas minyak. Kemudian di letakkan di dalam dos.Yangko cukup menjadi makanan akternative yang disukai banyak orang.Selain di Kotagede Yangko juga mudah diperoleh di berbagai toko oleh-oleh di Jogja.

Yangko


2.       Legamara/ Lego Moro

Salah satu makanan kecil tradisi­onal Kotagede. Makanan ini dibuat dari bahan-bahan: beras ketan, daging sapi dan kelapa. Bumbu yang diperlukan, antara lain: ba­wang merah dan bawang putih, ketumbar, salam, laos dan gula. Cara membuat: beras ketan di dang (kukus) di karu kemudian di tambahi dengan santan kental dan kemudian dimasak lagi. Bumbu­-bumbu dihaluskan, daging di ca­cah ditambah dengan bumbu, lalu disangrai hingga kering. Ketan diisi dengan daging dan dibentuk segi empat memanjang, kemudian di­bungkus dengan daun pisang dan diikat dengan iritan bambu. Lang­kah terakhir makanan yang telah siap tadi dikukus hingga masak.
 
Legomoro

3.       Kembangwaru

Makanan tradisional khas Kotagede yang dibuat dari bahan tepung beras dengan bumbunya: telur, gula pasir, mentega/minyak kelapa, vanili, kayu manis jangan yang dihaluskan, dan santan. 
Cara membuatnya: telur dan gula dikocok sampai rata, kemudian tepung dan vanili dimasukkan diaduk-aduk sampai rata, setelah itu dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kembang waru dan di pan dengan dioseri (diolesi) mentega/ minyak kelapa. Makanan ini disajikan dan disimpan ke dalamlodhong/toples. Salah satu pengusaha roti kem¬bang waru yang masih bertahan, adalah “Roti Kembang Waru Bu Teguh” , beralamat di Bumen RW 06/24 Kotagede. Untuk memperoleh roti kembang waru Bu Teguh, harus memesan terlebih dahulu (tidak menjual bebas di pasaran)
Kembang Waru


4.       Ukel

Makanan khas Kotagede dengan bentuk seperti cincin. Setelah digoreng, kemudian ditaburi de-ngan tepung gula pasir. Cara membuat: Bahan utama ma-kanan dari tepung terigu, dicampur dengan air santan, bumbu, dan garam. Setelah menjadi adonan yang kental dan liat, kemudian di-pilin dengan kedua tangan dan di-bentuk. Bahan yang telah dibentuk tersebut, lalu dimasukkan ke dalam penggorengan dengan minyak yang banyak.Setelah matang, segera dimasuk-kan ke dalam tepung gula pasir, diaduk-aduk sampai rata. Setelah rata makanan siap untuk dihidangkan.

5.       Kipo

Makanan tradisional khas Kotage­de yang masih tetap eksis sampai saat ini. Dibuat dari bahan ketan, santan, garam, gula dan pewarna hijau dari bahan daun pandan. Di dalamnya terdapat enten-enten (parutan kelapa dicampur dengan gula jawa) dan di panggang meng­gunakan lapisan daun pisang ta-pa minyak.
Cara membuatnya bahan-bahan tersebut dicampur dan diaduk­aduk sampai rata sambil dan ke­kentalan yang diinginkan. Adonan kental dan liat ini kemudian di-ben­tuk mirip kipas dengan ukuran ± 4 x 2 cm, di dalamnya diberi isian enten-enten. Setelah selesai siap untuk dibakar.
Sejarah makanan tradisional Ko­tagede cukup panjang. Dalam ki­tab Centini disebutkan makanan yang disebut kupo, yang sekarang disebut sebagai kipa. Juga dalam buku karangan De Graaf disebut­kan makanan khas tradisional yang biasa disajikan bagi para ta­mu. Dari sejarah lisan dapat dike­tahui bahwa Panembahan Sena­pati ternyata menyukai jenis ma­kanan tertentu yang sekarang se­ring dijadikan bancaan atau sesaji waktu ada orang Midhang atau ti­rakat di sekitar Makam Panem­bahan Senapati.
Mengenai asal-usul nama kipa, menurut beberapa penduduk, ka­rena para bangsawan yang disu­guhi kipa dan menyantapnya, lalu bertanya “iki apa” ? Lama-lama makanan itu lebih dikenal dengan nama kipa. Dalam perkembangan­nya kini, makanan ini masih dite­ruskan generasi berikutnya oleh keluarga Mulyo Wiharto dan adik­nya Gito Suharjo. Mulyo Wiharto diteruskan oleh anaknya bernama Supardi yang tinggal di Kampung Mranggen.

Kipo